Review Thunderbolts*: Dramatik, Lucu, dan Menghibur
Thunderbolts*, film ke-36 dari Marvel Cinematic Universe (MCU) ini tentunya menjadi tontonan yang sudah ditunggu oleh para penggemarnya. Hadir sebagai penutup fase kelima The Multiverse Saga, Thunderbolts* kini disutradarai oleh Jake Schreier yang sebelumnya menangani film-film kecil macam Robot & Frank dan Paper Towns.
Kisah dalam film ini bermula saat Yelena Belova (Florence Pugh), salah seorang anggota Thunderbolts* yang dilatih di Red Room sebagai pembunuh Black Widow merasakan kehampaan dan ingin menjalani kehidupan baru yang justru mengantarkannya ke dalam misi berbahaya dan masuk ke dalam perangkap mematikan seorang wanita bernama Valentina Allegra de Fontaine (Julia Louis-Dreyfus).
Valentina sendiri merupakan direktur Central Intelligence Agency (CIA), yang tengah berada dalam ancaman gugatan kongres AS, karena diduga menyalahgunakan kekuasaan. Ia pun berusaha menghancurkan bukti-bukti keterlibatannya dengan OXE, perusahaan lama tempat ia bernaung.
Bukti-bukti tersebut pun termasuk keberadaan Yelena dan antihero lain yang bekerja untuknya, seperti Ghost (Hannah John-Kamen), Taskmaster (Olga Kurylenko), dan John Walker (Wyatt Russell). dalam upaya menghancurkan mereka, Valentina membuat skenario yang menjebak mereka untuk saling membunuh.
Namun, rencana busuk Valentina tadi pun gagal. Di tengah “pertempuran” antar para superhero tadi, keempatnya justru menyadari rencana jahat Valentina yang ingin menghancurkan mereka. Mereka pun bersatu melawan ancaman besar dan menghadapi kehancuran dunia akibat ulah Valentina.
Ditulis oleh Eric Pearson yang sebelumnya menggarap naskah Thor: Ragnarok dan Black Widow, tidak mengherankan bila keunggulan utama dari Thunderbolts* justru terletak pada humornya. Bukan humor "gila" seperti karya Taika Waititi memang, melainkan celetukan-celetukan yang kerap mengisi interaksi para karakternya. Di sinilah terbukti, Marvel memperoleh harta karun dengan merekrut Florence Pugh sebagai bintang utamanya.
Pugh (dan David Harbour yang berperan sebagai Alexei Shostakov) nyatanya mampu membuat sebuah kalimat terdengar menggelitik tanpa harus berusaha keras melucu. Salah satu tujuan film ini tak lain memang mengoper tongkat estafet kepada Yelena, dan sang aktris memastikan proses tersebut berjalan mulus.
Yelena sendiri adalah sosok menarik, mudah disukai penonton, dan yang terpenting, jago berseloroh di sela-sela adegan aksi, yang mana merupakan kekhasan mayoritas superhero MCU. Tanpa mengecilkan aktor-aktor lainnya, tapi Pugh amat berjasa besar menjaga dinamika film ini, sewaktu gelaran aksinya tidak sehebat beberapa installment MCU belakangan.
Sebagai sutradara, Jake Schreier memang menghadapi tantangan besar perihal merangkai aksi filmnya. Sebagian besar karakter dalam film ini bukanlah pemilik ilmu sihir macam Doctor Strange dan Scarlet Witch, juga tidak diberkahi kekuatan fisik di atas rata-rata manusia seperti Captain America maupun teknologi canggih layaknya Iron Man dan Ant-man. Alhasil, opsi pun terbatas pada ide yang lebih "membumi", semacam baku tembak, hand-to-hand combat, hingga kejar-kejaran mobil.
Walhasil, di banyak bagian, Thunderbolts* sepertinya berujung generik akibat hanya mengandalkan hal-hal di atas tadi. Klimaksnya pun sebenarnya memiliki satu momen menarik. Bagi sineas spesialis action lainnya, mungkin bagian tadi bisa dibuat menjadi lebih kreatif, intens, well-executed. Namun, rupanya Jake Schreier ternyata mengambil pendekatan yang berkebalikan. Sehingga, bagi beberapa penonton, babak pamungkasnya mungkin akan terasa antiklimaks.
Tapi apapun itu, Thunderbolts* masih tetap bisa diapresiasi sepenuhnya berkat keberaniannya dalam mengusung tema besar yang cukup subtil perihal emosi manusia. Meskipun tak seberapa mendalam dan masih menyisakan ruang eksplorasi, dampak emosinya cukup tersampaikan berkat kapasitas akting dramatik Florence Pugh dan Lewis Pullman di babak akhir filmnya.
So, begitulah Thunderbolts*. Dramatik, menghibur, walaupun unsur aksinya masih minim unsur pembeda. Minimal, tugas menutup suatu babak, sembari membuka babak baru, berhasil dijalankan oleh film ini. Dan sosok Florence Pugh berhasil memastikan waralaba ini memiliki masa depan yang cerah.