Review Hi-Five: Sukses Padukan Kedalaman Emosi, Aksi, dan Humor dengan Baik
Pekan ini, sebuah film asal Korea Selatan yang menghadirkan pendekatan segar terhadap genre superhero resmi dirilis di Indonesia. Berjudul Hi-Five, film yang disutradarai oleh Kang Hyung-chul ini seharusnya telah tayang pada tahun 2023 lalu, namun mengalami penundaan akibat skandal yang menimpa salah satu pemainnya, Yoo Ah-in.
Film Hi-Five sendiri akan mengisahkan pertemuan tak terduga lima orang asing yang dipersatukan oleh sebuah peristiwa “ajaib”. Mereka adalah Wan Seo (Lee Jae-in), seorang jawara Taekwondo; Ji Seong (Ahn Jae-hong), penulis yang sedang berjuang; Seon Nyeo (Ra Mi-ran), manajer pemula; Yak Seon (Kim Hee-won), pemimpin tim yang kaku; dan Ki Dong (Yoo Ah-in), seorang pengangguran eksentrik.
Meski berasal dari latar belakang kehidupan yang sangat berbeda, takdir mempertemukan mereka saat masing-masing menerima transplantasi organ seperti jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan kornea dari seorang donor misterius yang sama.
Setelah menjalani operasi, kelima orang ini tidak hanya memperoleh kesempatan hidup kedua, tetapi juga warisan kekuatan supranatural yang unik dan tidak dapat dijelaskan. Saat mulai muncul tanda-tanda aneh pada tubuh mereka, mereka menyadari bahwa ada keterkaitan di antara mereka.
Di sisi lain, ancaman besar datang dari Young Chun, pemimpin kharismatik namun berbahaya dari sekte bernama Gereja Dewa Baru. Ia juga menerima transplantasi pankreas dari donor yang sama, dan memperoleh kekuatan supranatural yang menakutkan. Yakin bahwa kekuatan tersebut adalah karunia ilahi, Young Chun mulai memburu para penerima organ lainnya untuk menyerap kekuatan mereka dan menjadi makhluk yang mahakuasa.
Hi-Five sendiri bukanlah tim darurat yang dibentuk guna melangsungkan misi bunuh diri demi menyelamatkan dunia. Bahkan konsep "menyelamatkan dunia" di sini adalah sesuatu yang tak sedikit pun terbesit di benak masing-masing anggotanya. Mereka hanya orang-orang yang ingin sembuh dari luka hati, kemudian mendapati ada individu lain tengah merasakan kepedihan serupa, sehingga timbul dorongan untuk menyelamatkannya atas dasar empati. Namun, justru karena itulah mereka spesial.
Naskah yang juga ditulis langsung oleh sang sutradara benar-benar terlihat peduli kepada para karakter yang ditulisnya. Atas dasar itulah, narasi yang unik pun terbentuk, di mana paruh pertama filmnya, alih-alih langsung dipenuhi aksi masif, cenderung bermain dalam skala kecil, lalu membiarkan ikatan antar karakternya, juga karakter dengan penonton tumbuh secara alami.
Kesan realis dan humanis yang begitu jarang hadir di suguhan film-film superhero lainnya pun mampu Hi-Five miliki. Memahami pentingnya realisme tersebut, sang sutradara lebih memilih untuk menggunakan efek praktikal di banyak adegan guna mempertahankan kesan di atas tadi. Walaupun jika boleh jujur, beberapa adegannya masih dipenuhi oleh inkonsistensi kualitas.
Jajaran pelakonnya pun mendukung pendekatan humanis filmnya, mencoba menjalin chemistry solid yang terkadang menghasilkan humor menggelitik secara natural. Para aktornya juga berhasil menggambarkan bahwa mereka mungkin saja karakter yang rapuh, tidak sempurna. Namun, status kepahlawanannya tak perlu diragukan lagi.
Babak klimaksnya mungkin saja bakal mengundang komplain dari para penonton awam yang mengeluhkan minimnya keseruan. Akan tetapi, menurut penulis, hal itu bukanlah sebuah kelalaian dari si pembuatnya. Secara sengaja, Hi-Five seakan ingin menggantikan aksi bombastis ala superhero Marvel dengan banyak momen personal yang justru membuatnya menjadi lebih emosional.
So, dengan memadukan antara kedalaman emosi, aksi, dan humor, Hi Five mampu menjadi tontonan yang sangat layak untuk dinikmati. Tanpa harus membebani diri dengan visual yang spektakel, Hi-Five justru berhasil tampil lewat kesegarannya sendiri.